Minggu, 30 Maret 2008

PERMENDIKNAS NO 23

Jakarta (Suara Pembaruan: 27/07/06) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) diminta untuk menyosialisasikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22/2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23/2006 tentang Standar Kompetensi. Sampai saat ini, belum semua sekolah di Jakarta mengetahui adanya Permendiknas tersebut. Pengajar SMA 19 Jakarta Barat, Laili Hadiati, ketika dihubungi Pembaruan, Rabu (26/7), mengatakan sampai saat ini sekolahnya belum menerima Permendiknas yang akan mengubah kurikulum di kelas. "Belum ada informasi yang kami terima tentang peraturan baru. Saya tanya ke bagian kurikulum di sekolah, katanya belum ada. Tetapi setelah bertanya-tanya, katanya tidak banyak berbeda dengan kurikulum 2004," katanya.
Laili mengatakan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) belum membahas Permendiknas tersebut lantaran informasi yang diterima belum lengkap. Tetapi, bila informasi itu menyatakan tidak ada perubahan signifikan kurikulum, seperti termaktub dalam Permendiknas, otomatis tidak akan ada perubahan di kelas, seperti yang diinginkan pemerintah. Inkonsistensi Secara terpisah, pengamat pendidikan Darmaningtyas menyatakan lahirnya kedua Permendiknas itu merupakan sikap inkonsistensi pemerintah. "Lahirnya Permendiknas tersebut merupakan cerminan inkonsistensi dan kebingungan pengambil kebijakan. Otonomi pembuatan kurikulum diberikan kepada satuan pendidikan, namun otonomi evalusi tidak diberikan karena pemerintah tetap menyelenggarakan ujian nasional (UN)," katanya ketika dihubungi Pembaruan, Kamis (27/7).
Dikemukakan, Permendiknas yang baru lahir itu akan menimbulkan kurikulum yang variatif. Namun, pemerintah juga mengharapkan munculnya standar hasil akhir yang sama. Darmaningtyas menambahkan, otonomi kurikulum yang termaktub dalam Permendiknas tersebut menelurkan konsekuensi penggunaan beragam buku pelajaran. "Tidak ada lagi yang disebut buku paket. Yang akan terjadi, sekolah akan memakai kurikulum yang disusun BSNP. Oleh karena itu, dalam sektor pendidikan tetap terjadi sentralisasi kurikulum," tegasnya.
Memasung Kreativitas Pandangan senada disampaikan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Susi Fitri. Dia mengatakan Permendiknas justru memasung kreativitas guru. "Standar isi dan Kompetensi yang termaktub dalam Permendiknas tersebut akan bertentangan dengan keinginan pendidikan kita untuk lebih kreatif. Mengapa? Karena Permendiknas sangat mengikat dengan standar yang sangat detail. Apalagi dengan adanya UN yang justru bertentangan dengan napas KBK," katanya. Kalau memang Permendiknas itu dianggap akan membuat kurikulum variatif, akan sangat bijaksana jika UN ditiadakan.

STANDARISASI NASIONAL PENDIDIKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 19 TAHUN 2005TENTANGSTANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (4), Pasal 36 ayat (4), Pasal 37 ayat (3), Pasal 42 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), Pasal 60 ayat (4), dan Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN.
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.
Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
Biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kerangka dasar kurikulum adalah rambu-rambu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan pendidikan.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik .
Ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.
Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan;
Departemen adalah departemen yang bertanggung jawab di bidang pendidikan;
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang selanjutnya disebut LPMP adalah unit pelaksana teknis Departemen yang berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan;
Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah yang selanjutnya disebut BAN-S/M adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal yang selanjutnya disebut BAN-PNF adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut BAN-PT adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
BAB IILINGKUP, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:
standar isi;
standar proses;
standar kompetensi lulusan;
standar pendidik dan tenaga kependidikan;
standar sarana dan prasarana;
standar pengelolaan;
standar pembiayaan;dan
standar penilaian pendidikan.
(2) Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. (3) Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Pasal 3
Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Pasal 4
Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
BAB IIISTANDAR ISIBagian KesatuUmum
Pasal 5
(1) Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. (2). Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.
Bagian KeduaKerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
Pasal 6
(1) Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran estetika; kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. (2) Kurikulum untuk jenis pendidikan keagamaan formal terdiri atas kelompok mata pelajaran yang ditentukan berdasarkan tujuan pendidikan keagamaan. (3) Satuan pendidikan nonformal dalam bentuk kursus dan lembaga pelatihan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi yang memuat pendidikan kecakapan hidup dan keterampilan. (4) Setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakan secara holistik sehingga pembelajaran masing-masing kelompok mata pelajaran mempengaruhi pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik. (5) Semua kelompok mata pelajaran sama pentingnya dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah. (6) Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis, kecakapan berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.
Pasal 7
(1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan.
(2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani.
(3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD/MI/ SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang relevan.
(4) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMP/MTs/SMPLB/Paket B, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan/atau teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan.
(5) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMA/MA/SMALB/Paket C, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan.
(6) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan, kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan.
(7) Kelompok mata pelajaran estetika pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/ MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan.
(8) Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan pada SD/MI/SDLB/ Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pendidikan jasmani, olahraga, pendidikan kesehatan, ilmu pengetahuan alam, dan muatan lokal yang relevan.
Pasal 8
(1) Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi pada setiap tingkat dan/atau semester sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
(2) Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar.
(3) Ketentuan mengenai kedalaman muatan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 9(1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan untuk setiap program studi. (2) Kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi program Sarjana dan Diploma wajib memuat mata kuliah yang bermuatan kepribadian, kebudayaan, serta mata kuliah Statistika, dan/atau Matematika. (4) Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kedalaman muatan kurikulum pendidikan tinggi diatur oleh perguruan tinggi masing-masing.
Bagian KetigaBeban Belajar
Pasal 10
(1) Beban belajar untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat menggunakan jam pembelajaran setiap minggu setiap semester dengan sistem tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur, sesuai kebutuhan dan ciri khas masing-masing. (2) MI/MTs/MA atau bentuk lain yang sederajat dapat menambahkan beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian sesuai dengan kebutuhan dan ciri khasnya. (3) Ketentuan mengenai beban belajar, jam pembelajaran, waktu efektif tatap muka, dan persentase beban belajar setiap kelompok matapelajaran ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP. Pasal 11 (1) Beban belajar untuk SMP/MTs/SMPLB, atau bentuk lain yang sederajat dapat dinyatakan dalam satuan kredit semester (SKS). (2) Beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat pada jalur pendidikan formal kategori standar dapat dinyatakan dalam satuan kredit semester. (3) Beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat pada jalur pendidikan formal kategori mandiri dinyatakan dalam satuan kredit semester. (4) Beban belajar minimal dan maksimal bagi satuan pendidikan yang menerapkan sistem SKS ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usul dari BSNP. Pasal 12 (1) Beban belajar pada pendidikan kesetaraan disampaikan dalam bentuk tatap muka, praktek keterampilan, dan kegiatan mandiri yang terstruktur sesuai dengan kebutuhan. (2) Beban belajar efektif per tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP. Pasal 13 (1) Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. (2) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional. (3) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat merupakan bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, pendidikan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pendidikan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, kelompok mata pelajaran pendidikan estetika, atau kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga, dan kesehatan. (4) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang sudah memperoleh akreditasi. Pasal 14 (1) Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dan kurikulum untuk SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal. (2) Pendidikan berbasis keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat merupakan bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, pendidikan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pendidikan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan kelompok mata pelajaran estetika, atau kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga, dan kesehatan. (3) Pendidikan berbasis keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang sudah memperoleh akreditasi. Pasal 15 (1) Beban SKS minimal dan maksimal program pendidikan pada pendidikan tinggi dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (2) Beban SKS efektif program pendidikan pada pendidikan tinggi diatur oleh masing-masing perguruan tinggi.
Bagian KeempatKurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Pasal 16
(1) Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP. (2) Panduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi sekurang-kurangnya: Model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk SD/MI/ SDLB/SMP/MTs/SMPLB/SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK pada jalur pendidikan formal kategori standar; Model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk SD/MI/ SDLB/SMP/MTs/SMPLB/SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK pada jalur pendidikan formal kategori mandiri; (3) Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah keagamaan berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP. (4) Panduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berisi sekurang-kurangnya model-model kurikulum satuan pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah. (5) Model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (4) sekurang-kurangnya meliputi model kurikulum tingkat satuan pendidikan apabila menggunakan sistem paket dan model kurikulum tingkat satuan pendidikan apabila menggunakan sistem kredit semester. Pasal 17 (1) Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik. (2) Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK. (3) Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya untuk program paket A, B, dan C ditetapkan oleh dinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan berdasarkan kerangka dasar kurikulum sesuai dengan peraturan pemerintah ini dan standar kompetensi lulusan. (4) Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan.
Bagian KelimaKalender Pendidikan/Akademik
Pasal 18
(1) Kalender pendidikan/kalender akademik mencakup permulaan tahun ajaran, minggu efektif belajar, waktu pembelajaran efektif, dan hari libur. (2) Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk jeda tengah semester selama-lamanya satu minggu dan jeda antar semester. (3) Kalender pendidikan/akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap satuan pendidikan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
BAB IVSTANDAR PROSES
Pasal 19
(1) Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. (2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan. (3) Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Pasal 20 Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Pasal 21 (1) Pelaksanaan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) harus memperhatikan jumlah maksimal peserta didik per kelas dan beban mengajar maksimal per pendidik, rasio maksimal buku teks pelajaran setiap peserta didik, dan rasio maksimal jumlah peserta didik setiap pendidik. (2) Pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan dengan mengembangkan budaya membaca dan menulis. Pasal 22 (1) Penilaian hasil pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai. (2) Teknik penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau kelompok. (3) Untuk mata pelajaran selain kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, teknik penilaian observasi secara individual sekurang-kurangnya dilaksanakan satu kali dalam satu semester. Pasal 23 Pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan pengambilan langkah tindak lanjut yang diperlukan. Pasal 24 Standar perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB VSTANDAR KOMPETENSI LULUSAN
Pasal 25
(1) Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. (2) Standar kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah. (3) Kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikan. (4) Kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Pasal 26 (1) Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. (2) Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. (3) Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. (4) Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi, dan seni, yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Pasal 27 (1) Standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan nonformal dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (2) Standar kompetensi lulusan pendidikan tinggi ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi.
BAB VISTANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Bagian KesatuPendidik
Pasal 28
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:Kompetensi pedagogik; Kompetensi kepribadian; Kompetensi profesional; dan Kompetensi sosial. (4) Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan. (5) Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 29 (1) Pendidik pada pendidikan anak usia dini memiliki: kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi; dan sertifikat profesi guru untuk PAUD (2) Pendidik pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat memiliki: kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi; dan sertifikat profesi guru untuk SD/MI (3) Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat memiliki: kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan sertifikat profesi guru untuk SMP/MTs (4) Pendidik pada SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat memiliki: kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan sertifikat profesi guru untuk SMA/MA (5) Pendidik pada SDLB/SMPLB/SMALB, atau bentuk lain yang sederajat memiliki: kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan sertifikat profesi guru untuk SDLB/SMPLB/SMALB. (6) Pendidik pada SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat memiliki: kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan sertifikat profesi guru untuk SMK/MAK. Pasal 30 (1) Pendidik pada TK/RA sekurang-kurangnya terdiri atas guru kelas yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan. (2) Pendidik pada SD/MI sekurang-kurangnya terdiri atas guru kelas dan guru mata pelajaran yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan. (3) Guru mata pelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup guru kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta guru kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga, dan kesehatan. (4) Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas guru mata pelajaran yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan. (5) Pendidik pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas guru mata pelajaran dan instruktur bidang kejuruan yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan. (6) Pendidik pada SDLB, SMPLB, dan SMALB terdiri atas guru mata pelajaran dan pembimbing yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan. (7) Pendidik pada satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C terdiri atas tutor penanggungjawab kelas, tutor penanggungjawab mata pelajaran, dan nara sumber teknis yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan. (8) Pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan keterampilan terdiri atas pengajar, pembimbing, pelatih atau instruktur, dan penguji.
Pasal 31
(1) Pendidik pada pendidikan tinggi memiliki kualifikasi pendidikan minimum:
lulusan diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) untuk program diploma;
lulusan program magister (S2) untuk program sarjana (S1); dan
lulusan program doktor (S3) untuk program magister (S2) dan program doktor (S3).
(2) Selain kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) butir a, pendidik pada program vokasi harus memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. (3) Selain kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) butir b, pendidik pada program profesi harus memiliki sertifikat kompetensi setelah sarjana sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Pasal 32 (1) Pendidik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar sebagaimana diatur dalam Pasal 28 sampai dengan pasal 31. (2) Selain syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama dapat memberikan kriteria tambahan. Pasal 33 (1) Pendidik di lembaga kursus dan lembaga pelatihan keterampilan harus memiliki kualifikasi dan kompetensi minimum yang dipersyaratkan. (2) Kualifikasi dan kompetensi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
Rasio pendidik terhadap peserta didik ditetapkan dalam Peraturan Menteri berdasarkan usulan dari BSNP.
Bagian KeduaTenaga Kependidikan
Pasal 35
(1) Tenaga kependidikan pada: TK/RA atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala TK/RA dan tenaga kebersihan TK/RA. SD/MI atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah. SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah. SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah. SDLB, SMPLB, dan SMALB atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, tenaga kebersihan sekolah, teknisi sumber belajar, psikolog, pekerja sosial, dan terapis. Paket A, Paket B dan Paket C sekurang-kurangnya terdiri atas pengelola kelompok belajar, tenaga administrasi, dan tenaga perpustakaan. lembaga kursus dan lembaga pelatihan keterampilan sekurang-kurangnya terdiri atas pengelola atau penyelenggara, teknisi, sumber belajar, pustakawan, dan laboran. (2) Standar untuk setiap jenis tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 36
(1) Tenaga Kependidikan pada pendidikan tinggi harus memiliki kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sesuai dengan bidang tugasnya. (2) Kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 37 (1) Tenaga kependidikan di lembaga kursus dan pelatihan harus memiliki kualifikasi dan kompetensi minimum yang dipersyaratkan. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang standar tenaga kependidikan pada lembaga kursus dan pelatihan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 38 (1) Kriteria untuk menjadi kepala TK/RA meliputi: Berstatus sebagai guru TK/RA; Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA; dan Memiliki kemampuan kepimpinanan dan kewirausahaan di bidang pendidikan. (2) Kriteria untuk menjadi kepala SD/MI meliputi: Berstatus sebagai guru SD/MI; Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di SD/MI; dan Memiliki kemampuan kepimpinanan dan kewirausahaan di bidang pendidikan. (3) Kriteria untuk menjadi kepala SMP/MTs/SMA/MA/SMK/MAK meliputi: Berstatus sebagai guru SMP/MTS/SMA/MA/SMK/MAK; Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di SMP/MTs/SMA/MA/SMK/MAK; dan Memiliki kemampuan kepimpinanan dan kewirausahaan di bidang pendidikan. (4) Kriteria untuk menjadi kepala SDLB/SMPLB/SMALB meliputi: Berstatus sebagai guru pada satuan pendidikan khusus; Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di satuan pendidikan khusus; dan Memiliki kemampuan kepimpinanan, pengelolaan, dan kewirausahaan di bidang pendidikan khusus. (5) Kriteria kepala satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 39 (1) Pengawasan pada pendidikan formal dilakukan oleh pengawas satuan pendidikan. (2) Kriteria minimal untuk menjadi pengawas satuan pendidikan meliputi: Berstatus sebagai guru sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun atau kepala sekolah sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan satuan pendidikan yang diawasi; memiliki sertifikat pendidikan fungsional sebagai pengawas satuan pendidikan; lulus seleksi sebagai pengawas satuan pendidikan. (3) Kriteria pengawas suatu satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 40 (1) Pengawasan pada pendidikan nonformal dilakukan oleh penilik satuan pendidikan. (2) Kriteria minimal untuk menjadi penilik adalah: Berstatus sebagai pamong belajar/pamong atau jabatan sejenis di lingkungan pendidikan luar sekolah dan pemuda sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, atau pernah menjadi pengawas satuan pendidikan formal; memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; memiliki sertifikat pendidikan fungsional sebagai penilik; dan lulus seleksi sebagai penilik. (3) Kriteria penilik suatu satuan pendidikan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dan ayat (2) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 41 (1) Setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. (2) Kriteria penyelenggaraan pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB VIISTANDAR SARANA DAN PRASARANA
Pasal 42
(1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Pasal 43 (1) Standar keragaman jenis peralatan laboratorium ilmu pengetahuan alam (IPA), laboratorium bahasa, laboratorium komputer, dan peralatan pembelajaran lain pada satuan pendidikan dinyatakan dalam daftar yang berisi jenis minimal peralatan yang harus tersedia. (2) Standar jumlah peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rasio minimal jumlah peralatan per peserta didik. (3) Standar buku perpustakaan dinyatakan dalam jumlah judul dan jenis buku di perpustakaan satuan pendidikan. (4) Standar jumlah buku teks pelajaran di perpustakaan dinyatakan dalam rasio minimal jumlah buku teks pelajaran untuk masing-masing mata pelajaran di perpustakaan satuan pendidikan untuk setiap peserta didik. (5) Kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikaan buku teks pelajaran dinilai oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (6) Standar sumber belajar lainnya untuk setiap satuan pendidikan dinyatakan dalam rasio jumlah sumber belajar terhadap peserta didik sesuai dengan jenis sumber belajar dan karakteristik satuan pendidikan. Pasal 44 (1) Lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) untuk bangunan satuan pendidikan, lahan praktek, lahan untuk prasarana penunjang, dan lahan pertamanan untuk menjadikan satuan pendidikan suatu lingkungan yang secara ekologis nyaman dan sehat. (2) Standar lahan satuan pendidikan dinyatakan dalam rasio luas lahan per peserta didik. (3) Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan letak lahan satuan pendidikan di dalam klaster satuan pendidikan sejenis dan sejenjang, serta letak lahan satuan pendidikan di dalam klaster satuan pendidikan yang menjadi pengumpan masukan peserta didik. (4) Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan jarak tempuh maksimal yang harus dilalui oleh peserta didik untuk menjangkau satuan pendidikan tersebut. (5) Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan keamanan, kenyamanan, dan kesehatan lingkungan. Pasal 45 (1) Standar rasio luas ruang kelas per peserta didik dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (2) Standar rasio luas bangunan per peserta didik dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (3) Standar kualitas bangunan minimal pada satuan pendidikan dasar dan menengah adalah kelas B. (4) Standar kualitas bangunan minimal pada satuan pendidikan tinggi adalah kelas A. (5) Pada daerah rawan gempa bumi atau tanahnya labil, bangunan satuan pendidikan harus memenuhi ketentuan standar bangunan tahan gempa. (6) Standar kualitas bangunan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), dan (5) mengacu pada ketetapan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum. Pasal 46 (1) Satuan pendidikan yang memiliki peserta didik, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan yang memerlukan layanan khusus wajib menyediakan akses ke sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan mereka. (2) Kriteria penyediaan akses sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 47 (1) Pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 46 menjadi tanggung jawab satuan pendidikan yang bersangkutan. (2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan berkesinambungan dengan memperhatikan masa pakai. (3) Pengaturan tentang masa pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 48 Standar sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sampai 47 dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB VIIISTANDAR PENGELOLAANBagian Kesatu Standar Pengelolaan Oleh Satuan Pendidikan
Pasal 49
(1) Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas (2) Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi perguruan tinggi yang dalam batas-batas yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku memberikan kebebasan dan mendorong kemandirian dalam pengelolaan akademik, operasional, personalia, keuangan, dan area fungsional kepengelolaan lainnya yang diatur oleh masing-masing perguruan tinggi. Pasal 50 (1) Setiap satuan pendidikan dipimpin oleh seorang kepala satuan sebagai penanggung jawab pengelolaan pendidikan. (2) Dalam melaksanakan tugasnya kepala satuan pendidikan SMP/MTs/ SMPLB, atau bentuk lain yang sederajat dibantu minimal oleh satu orang wakil kepala satuan pendidikan. (3) Pada satuan pendidikan SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat kepala satuan pendidikan dalam melaksanakan tugasnya dibantu minimal oleh tiga wakil kepala satuan pendidikan yang masing-masing secara berturut-turut membidangi akademik, sarana dan prasarana, serta kesiswaan. Pasal 51 (1) Pengambilan keputusan pada satuan pendidikan dasar dan menengah di bidang akademik dilakukan oleh rapat Dewan Pendidik yang dipimpin oleh kepala satuan pendidikan. (2) Pengambilan keputusan pada satuan pendidikan dasar dan menengah di bidang non-akademik dilakukan oleh komite sekolah/madrasah yang dihadiri oleh kepala satuan pendidikan. (3) Rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah dilaksanakan atas dasar prinsip musyawarah mufakat yang berorientasi pada peningkatan mutu satuan pendidikan. Pasal 52 (1) Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang: Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus; Kalender pendidikan/akademik, yang menunjukkan seluruh kategori aktivitas satuan pendidikan selama satu tahun dan dirinci secara semesteran, bulanan, dan mingguan; Struktur organisasi satuan pendidikan; Pembagian tugas di antara pendidik; Pembagian tugas di antara tenaga kependidikan; Peraturan akademik; Tata tertib satuan pendidikan, yang minimal meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, serta penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana; Kode etik hubungan antara sesama warga di dalam lingkungan satuan pendidikan dan hubungan antara warga satuan pendidikan dengan masyarakat; Biaya operasional satuan pendidikan. (2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir a, b, d, e, f, dan h diputuskan oleh rapat dewan pendidik dan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan. (3) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir c dan i diputuskan oleh komite sekolah/madrasah dan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan. (4) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir g ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan setelah mempertimbangkan masukan dari rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah. (5) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir e ditetapkan oleh pimpinan satuan pendidikan. (6) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pendidikan tinggi diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 53 (1) Setiap satuan pendidikan dikelola atas dasar rencana kerja tahunan yang merupakan penjabaran rinci dari rencana kerja jangka menengah satuan pendidikan yang meliputi masa 4 (empat) tahun. (2) Rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: kalender pendidikan/akademik yang meliputi jadwal pembelajaran, ulangan, ujian, kegiatan ekstrakurikuler, dan hari libur; jadwal penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk tahun ajaran berikutnya; mata pelajaran atau mata kuliah yang ditawarkan pada semester gasal, semester genap, dan semester pendek bila ada; penugasan pendidik pada mata pelajaran atau mata kuliah dan kegiatan lainnya; buku teks pelajaran yang dipakai pada masing-masing mata pelajaran; jadwal penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pembelajaran; pengadaan, penggunaan, dan persediaan minimal bahan habis pakai; program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan yang meliputi sekurang-kurangnya jenis, durasi, peserta, dan penyelenggara program; jadwal rapat Dewan Pendidik, rapat konsultasi satuan pendidikan dengan orang tua/wali peserta didik, dan rapat satuan pendidikan dengan komite sekolah/madrasah, untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah; jadwal rapat Dewan Dosen dan rapat Senat Akademik untuk jenjang pendidikan tinggi; rencana anggaran pendapatan dan belanja satuan pendidikan untuk masa kerja satu tahun; jadwal penyusunan laporan akuntabilitas dan kinerja satuan pendidikan untuk satu tahun terakhir. (3) Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) harus disetujui rapat dewan pendidik setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite Sekolah/Madrasah. (4) Untuk jenjang pendidikan tinggi, rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) harus disetujui oleh lembaga berwenang sebagaimana diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 54 (1) Pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan secara mandiri, efisien, efektif, dan akuntabel. (2) Pelaksanaan pengelolaan satuan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah yang tidak sesuai dengan rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 harus mendapat persetujuan dari rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah (3) Pelaksanaan pengelolaan satuan pendidikan untuk jenjang pendidikan tinggi yang tidak sesuai dengan rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 harus mendapat persetujuan dari lembaga berwenang sebagaimana diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (4) Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala satuan pendidikan kepada rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah. (5) Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dipertanggungjawabkan oleh kepala satuan pendidikan kepada lembaga berwenang sebagaimana diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 55 Pengawasan satuan pendidikan meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Pasal 56 Pemantauan dilakukan oleh pimpinan satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah atau bentuk lain dari lembaga perwakilan pihak-pihak yang berkepentingan secara teratur dan berkesinambungan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas satuan pendidikan. Pasal 57 Supervisi yang meliputi supervisi manajerial dan akademik dilakukan secara teratur dan berkesinambungan oleh pengawas atau penilik satuan pendidikan dan kepala satuan pendidikan. Pasal 58 (1) Pelaporan dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, dan pengawas atau penilik satuan pendidikan. (2) Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, laporan oleh pendidik ditujukan kepada pimpinan satuan pendidikan dan orang tua/wali peserta didik, berisi hasil evaluasi dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dilakukan sekurang-kurangnya setiap akhir semester. (3) Laporan oleh tenaga kependidikan ditujukan kepada pimpinan satuan pendidikan, berisi pelaksanaan teknis dari tugas masing-masing dan dilakukan sekurang-kurangnya setiap akhir semester. (4) Untuk pendidikan dasar dan menengah, laporan oleh pimpinan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada komite sekolah/madrasah dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, yang berisi hasil evaluasi dan dilakukan sekurang-kurangnya setiap akhir semester. (5) Untuk pendidikan dasar, menengah, dan non formal laporan oleh pengawas atau penilik satuan pendidikan ditujukan kepada Bupati/Walikota melalui Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan dan satuan pendidikan yang bersangkutan. (6) Untuk pendidikan dasar dan menengah keagamaan, laporan oleh pengawas satuan pendidikan ditujukan kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan satuan pendidikan yang bersangkutan. (7) Untuk jenjang pendidikan tinggi, laporan oleh kepala satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada Menteri, berisi hasil evaluasi dan dilakukan sekurang-kurangnya setiap akhir semester. (8) Setiap pihak yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) wajib menindak lanjuti laporan tersebut untuk meningkatkan mutu satuan pendidikan, termasuk memberikan sanksi atas pelanggaran yang ditemukannya.
Bagian KeduaStandar Pengelolaan Oleh Pemerintah Daerah
Pasal 59
(1) Pemerintah Daerah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun masyarakat; peningkatan status guru sebagai profesi; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat; dan pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan. (2) Realisasi rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui dan dipertanggungjawabkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian KetigaStandar Pengelolaan Oleh Pemerintah
Pasal 60
Pemerintah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat; peningkatan status guru sebagai profesi; peningkatan mutu dosen; standarisasi pendidikan; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan lokal, nasional, dan global; pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan; dan Penjaminan mutu pendidikan nasional. Pasal 61 (1) Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. (2) Menteri menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.
BAB IXSTANDAR PEMBIAYAAN
Pasal 62
(1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. (2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. (3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. (4) Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya. (5) Standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP.
BAB XSTANDAR PENILAIAN PENDIDIKANBagian KesatuUmum
Pasal 63
(1) Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: penilaian hasil belajar oleh pendidik; penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. (2) Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas: penilaian hasil belajar oleh pendidik; dan penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi. (3) Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian KeduaPenilaian Hasil Belajar oleh Pendidik
Pasal 64
(1) Penilaian hasil belajar oleh pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat 1 butir a dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. (2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk: menilai pencapaian kompetensi peserta didik; bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar; dan memperbaiki proses pembelajaran. (3) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui: pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; serta ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. (4) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai (5) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik. (6) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan dilakukan melalui: pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan psikomotorik dan afeksi peserta didik; dan ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. (7) Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah BSNP menerbitkan panduan penilaian untuk: kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Bagian KetigaPenilaian Hasil Belajar oleh Satuan Pendidikan
Pasal 65
(1) Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir b bertujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran. (2) Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk semua mata pelajaran pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan merupakan penilaian akhir untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. (3) Penilaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan hasil penilaian peserta didik oleh pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64. (4) Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk semua mata pelajaran pada kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui ujian sekolah/madrasah untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. (5) Untuk dapat mengikuti ujian sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (4), peserta didik harus mendapatkan nilai yang sama atau lebih besar dari nilai batas ambang kompetensi yang dirumuskan oleh BSNP, pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, serta kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. (6) Ketentuan mengenai penilaian akhir dan ujian sekolah/madrasah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP.
Bagian KeempatPenilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah
Pasal 66
(1) Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. (2) Ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. (3) Ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran. Pasal 67 (1) Pemerintah menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan ujian nasional yang diikuti peserta didik pada setiap satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan jalur nonformal kesetaraan. (2) Dalam penyelenggaraan ujian nasional BSNP bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota, dan satuan pendidikan. (3) Ketentuan mengenai ujian nasional diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 68 Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pasal 69 (1) Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan jalur nonformal kesetaraan berhak mengikuti ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. (2) Setiap peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti satu kali ujian nasional tanpa dipungut biaya. (3) Peserta didik pendidikan informal dapat mengikuti ujian nasional setelah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh BSNP. (4) Peserta ujian nasional memperoleh surat keterangan hasil ujian nasional yang diterbitkan oleh satuan pendidikan penyelenggara Ujian Nasional. Pasal 70 (1) Pada jenjang SD/MI/SDLB, atau bentuk lain yang sederajat, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). (2) Pada program paket A, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Kewarganegaraan. (3) Pada jenjang SMP/MTs/SMPLB, atau bentuk lain yang sederajat, Ujian Nasional mencakup pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). (4) Pada program paket B, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Kewarganegaraan. (5) Pada SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi ciri khas program pendidikan. (6) Pada program paket C, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi ciri khas program pendidikan. (7) Pada jenjang SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, Ujian Nasional mencakup pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran kejuruan yang menjadi ciri khas program pendidikan. Pasal 71 Kriteria kelulusan ujian nasional dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Bagian KelimaKelulusan
Pasal 72
(1) Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: menyelesaikan seluruh program pembelajaran; memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan ; lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan lulus Ujian Nasional. (2) Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB XIBADAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN(BSNP)
Pasal 73
(1) Dalam rangka pengembangan, pemantauan, dan pelaporan pencapaian standar nasional pendidikan, dengan Peraturan Pemerintah ini dibentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (2) BSNP berkedudukan di ibu kota wilayah Negara Republik Indonesia yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. (3) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya BSNP bersifat mandiri dan profesional. Pasal 74 (1) Keanggotaan BSNP berjumlah gasal, paling sedikit 11 (sebelas) orang dan paling banyak 15 (lima belas) orang. (2) Anggota BSNP terdiri atas ahli-ahli di bidang psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum, dan manajemen pendidikan yang memiliki wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan. (3) Keanggotaan BSNP diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa bakti 4 (empat) tahun. Pasal 75 (1) BSNP dipimpin oleh seorang ketua dan seorang sekretaris yang dipilih oleh dan dari anggota atas dasar suara terbanyak. (2) Untuk membantu kelancaran tugasnya BSNP didukung oleh sebuah sekretariat yang secara ex-officio diketuai oleh pejabat Departemen yang ditunjuk oleh Menteri. (3) BSNP menunjuk tim ahli yang bersifat ad-hoc sesuai kebutuhan. Pasal 76 (1) BSNP bertugas membantu Menteri dalam mengembangkan, memantau, dan mengendalikan standar nasional pendidikan. (2) Standar yang dikembangkan oleh BSNP berlaku efektif dan mengikat semua satuan pendidikan secara nasional setelah ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (3) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BSNP berwenang: mengembangkan Standar Nasional Pendidikan; menyelenggarakan ujian nasional; memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan. merumuskan kriteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pasal 77 Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3), BSNP didukung dan berkoordinasi dengan Departemen dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama, dan dinas yang menangani pendidikan di provinsi/ kabupaten/kota.
BAB XIIEVALUASI
Pasal 78
Evaluasi pendidikan meliputi: evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh satuan pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan; evaluasi kinerja pendidikan oleh Pemerintah; evaluasi kinerja pendidikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi evaluasi kinerja pendidikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan evaluasi oleh lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk masyarakat atau organisasi profesi untuk menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan; Pasal 79 (1) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 butir a dilakukan oleh satuan pendidikan pada setiap akhir semester. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: tingkat kehadiran peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan; pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kegiatan ekstrakurikuler; hasil belajar peserta didik;dan realisasi anggaran; (3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Pasal 80
(1) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 butir b dilakukan oleh Menteri terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi secara berkala. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 butir b dilakukan oleh menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan keagamaan secara berkala. Pasal 81 Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 butir c dilakukan terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, pada pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan nonformal termasuk pendidikan anak usia dini, secara berkala. Pasal 82 Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 butir d dilakukan terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, pada pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal termasuk pendidikan anak usia dini, secara berkala. Pasal 83 (1) Evaluasi terhadap pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 82 dilakukan sekurang-kurangnya setahun sekali. (2) Evaluasi terhadap pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sekurang-kurangnya: Tingkat relevansi pendidikan terhadap visi, misi, tujuan, dan paradigma pendidikan nasional; Tingkat relevansi satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat akan sumberdaya manusia yang bermutu dan kompetitif; Tingkat pencapaian Standar Nasional Pendidikan oleh satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; Tingkat efisiensi dan produktivitas satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; Tingkat daya saing satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada tingkat daerah, nasional, regional, dan global. (3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaporkan kepada Menteri. (4) Atas dasar evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (3), Menteri melakukan evaluasi komprehensif untuk menilai: Tingkat relevansi pendidikan nasional terhadap visi, misi, tujuan, dan paradigma pendidikan nasional; Tingkat relevansi pendidikan nasional terhadap kebutuhan masyarakat akan sumberdaya manusia yang bermutu dan berdayasaing; Tingkat mutu dan daya saing pendidikan nasional; Tingkat partisipasi masyarakat dalam pendidikan; Tingkat pemerataan akses masyarakat ke pelayanan pendidikan; dan Tingkat efisiensi, produktivitas, dan akuntabilitas pendidikan nasional.
Pasal 84
(1) Evaluasi dapat dilakukan oleh lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk masyarakat. (2) Evaluasi sebagai dimaksud pada ayat (1) secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik. (3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menentukan pencapaian standar nasional pendidikan oleh peserta didik, program, dan/atau satuan pendidikan. (4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan secara mandiri, independen, obyektif, dan profesional. (5) Metode dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh lembaga evaluasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada publik dan dilaporkan ke BSNP.
Pasal 85
(1) Untuk mengukur dan menilai pencapaian standar nasional pendidikan oleh peserta didik, program dan/atau satuan pendidikan, masyarakat dapat membentuk lembaga evaluasi mandiri.
(2) Kelompok masyarakat yang dapat membentuk lembaga mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kelompok masyarakat yang memiliki kompetensi untuk melakukan evaluasi secara profesional, independen dan mandiri.
(3) Pembentukan lembaga mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Menteri.
BAB XIIIAKREDITASI
Pasal 86
(1) Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan. (2) Kewenangan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula dilakukan oleh lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk melakukan akreditasi. (3) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 87
(1) Akreditasi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dilaksanakan oleh: BAN-S/M terhadap program dan/atau satuan pendidikan penddikan jalur formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah; BAN-PT terhadap program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan tinggi; dan BAN-PNF terhadap progam dan/atau satuan pendidikan jalur nonformal. (2) Dalam melaksanakan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BAN-S/M dibantu oleh badan akreditasi provinsi yang dibentuk oleh Gubernur. (3) Badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. (4) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mandiri. (5) Ketentuan mengenai badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur labih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 88
(1) Lembaga mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dapat melakukan fungsinya setelah mendapat pengakuan dari Menteri.
(2) Untuk memperoleh pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lembaga mandiri wajib memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya: berbadan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba. memiliki tenaga ahli yang berpengalaman di bidang evaluasi pendidikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XIVSERTIFIKASI
Pasal 89
(1) Pencapaian kompetensi akhir peserta didik dinyatakan dalam dokumen ijazah dan/atau sertifikat kompetensi. (2) Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah serta satuan pendidikan tinggi, sebagai tanda bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus dari satuan pendidikan. (3) Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya berisi: Identitas peserta didik; Pernyataan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus dari penilaian akhir satuan pendidikan beserta daftar nilai mata pelajaran yang ditempuhnya; Pernyataan tentang status kelulusan peserta didik dari Ujian Nasional beserta daftar nilai mata pelajaran yang diujikan; dan Pernyataan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah memenuhi seluruh kriteria dan dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. (4) Pada jenjang pendidikan tinggi ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya berisi: Identitas peserta didik; Pernyataan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah memenuhi seluruh kriteria dan dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. (5) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi yang diakui Pemerintah sebagai tanda bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus uji kompetensi. (6) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sekurang-kurangnya berisi: Identitas peserta didik; Pernyataan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus uji kompetensi untuk semua mata pelajaran atau mata kuliah keahlian yang dipersyaratkan dengan nilai yang memenuhi syarat sesuai ketentuan yang berlaku; Daftar semua mata pelajaran atau mata kuliah keahlian yang telah ditempuh uji kompetensinya oleh peserta didik, beserta nilai akhirnya.
Pasal 90
(1) Peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi mandiri/profesi sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijazah yang setara dengan ijazah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi sesuai ketentuan yang berlaku.
BAB XVPENJAMINAN MUTU
Pasal 91
(1) Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan.
(2) Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan.
(3) Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.
Pasal 92
(1) Menteri mensupervisi dan membantu satuan perguruan tinggi melakukan penjaminan mutu. (2) Menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama mensupervisi dan membantu satuan pendidikan keagamaan melakukan penjaminan mutu. (3) Pemerintah Provinsi mensupervisi dan membantu satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangannya untuk meyelenggarakan atau mengatur penyelenggaraannya dalam melakukan penjaminan mutu. (4) Pemerintah Kabupaten/Kota mensupervisi dan membantu satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangannya untuk meyelenggarakan atau mengatur penyelenggaraannya dalam melakukan penjaminan mutu. (5) BAN-S/M, BAN-PNF, dan BAN-PT memberikan rekomendasi penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi, dan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. (6) LPMP mensupervisi dan membantu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dalam melakukan upaya penjaminan mutu pendidikan. (7) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), LPMP bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Perguruan tinggi. (8) Menteri menerbitkan pedoman program penjaminan mutu satuan pendidikan pada semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan.
Pasal 93
(1) Penyelenggaraan satuan pendidikan yang tidak mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan ini dapat memperoleh pengakuan dari Pemerintah atas dasar rekomendasi dari BSNP. (2) Rekomendasi dari BSNP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada penilaian khusus. (3) Pengakuan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB XVIKETENTUAN PERALIHAN
Pasal 94
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini:
Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS), Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Panitia Nasional Penilaian Buku Pelajaran (PNPBP) masih tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dibentuknya badan baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Satuan pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat 7 (tujuh) tahun.
Standar kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berlaku efektif sepenuhnya 15 (lima belas) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini.
Ujian nasional untuk peserta didik SD/MI/SDLB mulai dilaksanakan 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini.
Penyelenggaraan ujian nasional dilaksanakan oleh Pemerintah sebelum BSNP menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 95
Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan standar nasional pendidikan pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XVIIKETENTUAN PENUTUP
Pasal 96
Semua peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 97
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di JakartaPada Tanggal 16 Mei 2005 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta Pada Tanggal 16 Mei 2005 MENTERI HUKUM DAN HAK AZAZI MANUSIAttd HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 41 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Tata Usaha Ttd Sugiri, SH

STANDARISASI N0 22 TAHUN 2006

PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 22 TAHUN 2006

TENTANG

STANDAR ISI
UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 8 ayat (3), Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (4), Pasal 12 ayat (2), dan Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tatakerja Kementrian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
Memperhatikan : Surat Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 0141/BSNP/III/2006 tanggal 13 Maret 2006 dan Nomor 0212/BSNP/V/2006 tanggal 2 Mei;
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.

Pasal 1

(1) Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

(2) Standar Isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.

Pasal 2

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2006

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO

Senin, 17 Maret 2008

LULUSAN JAMAN SEKARANG

LULUSAN JAMAN SEKARANG

Kita semua tahu bahwa pengangguran di negeri ini luar biasa besarnya. Kita semua juga tahu bahwa lulus dari perguruan tinggi (sarjana) ternama pun tidak selalu menjamin pekerjaan seperti yang diharapkan.

Ironisnya lagi, serbuan tenaga kerja asing yang merangsek ke negeri ini meningkat dengan begitu tajam. Menurut data Depnakertrans, pada tahun 2004 hanya ada 19.567 ekspatriat di negeri ini. Tetapi di akhir tahun 2005, jumlahnya sudah mencapai lebih dari 51 ribu. Sebanyak 59,86% dari jumlah tersebut menduduki jabatan profesional, sementara 32,47% memegang pucuk pimpinan. Tentu saja, mereka menikmati fasilitas dan gaji yang begitu wah.

Konsep Dasar

Menurut saya, idealnya perguruan tinggi hadir sebagai institusi pembangun linkage antara dunia sekolah dan dunia kerja. Perguruan tinggi menjadi jembatan yang mempersiapkan lulusan sekolah dasar-menengah menjadi personel yang siap pakai dan siap diberdayakan.

University Linkage

Lulusan perguruan tinggi kemudian memegang “tanggung jawab” sebagai pemberi value added bagi perusahaan. Lebih lengkap lagi, lulusan perguruan tinggi dituntut untuk bisa meningkatkan value added perusahaan dengan menggunakan sumberdaya internal secara optimal serta memberikan feedback demi perbaikan perusahaan.

Sayangnya, perguruan-perguruan tinggi di Indonesia tidaklah sama kualitasnya. Ada yang benar-benar highly-reputable, tetapi ada pula yang sekadar (maaf) menjual ijazah. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi menjadi sangat besar variansnya.

Banyak perusahaan yang mengaku telah membatasi varians mutu lulusan dengan mengontrol beberapa variabel, seperti IPK di atas 3, akan tetapi hasil tes internal perusahaan menunjukkan bahwa varians mutu lulusan tetap lebar.

Akibatnya lagi, ada lulusan-lulusan yang berkualitas tetapi masih menganggur; dan ada pula lulusan-lulusan yang “so-so” tetapi sukses mendapat pekerjaan dan memberi “value added” yang destruktif bagi perusahaan.

Kalau situasi demikian tetap terus terpelihara, bukan mustahil pengangguran di tanah air akan terus meningkat jumlahnya.

Yang Mempengaruhi Mutu Lulusan

Kualitas input. Untuk top PTN di Indonesia, screening test (PMB) dilakukan dengan cukup ketat. Di samping itu, beberapa PTN juga membuka jalur penerimaan tersendiri yang kualitasnya lebih disesuaikan lagi. Tapi ada juga perguruan tinggi yang membuka jalur penerimaan yang “ala kadarnya”; semata-mata karena kekurangan mahasiswa. Kalau sudah begini, wajar jika kualitas lulusan kemudian “biasa-biasa saja”.

Kualitas dan kuantitas dosen. Ada dosen berkualitas yang mengajar dengan penuh motivasi dan memberi materi dengan begitu inspiring. Ada juga dosen yang hanya membacakan buku, bercakap-cakap dengan papan tulis, dan kurang memiliki dedikasi. Perguruan tinggi memiliki kontribusi terhadap baik-buruknya kualitas dosen lewat kebijakan pengangkatan, remunerasi, dan faktor lingkungan. Gap pengajar yang begitu lebar dan dosen yang miskin akan pengalaman praktis kurang baik efeknya bagi mahasiswa.

Sistem penilaian. Walau sudah diatur oleh Dirjen Dikti, perbedaan sistem penilaian di perguruan-perguruan tinggi begitu lebar. Ada yang mensyaratkan nilai C sebagai batas kelulusan. Ada yang mensyaratkan penulisan research report. Ada juga yang bisa lulus asal nggak bener-bener kebangetan. Akibatnya, nilai A di sebuah perguruan tinggi “biasa” mungkin hanya “setara” dengan nilai C di perguruan tinggi yang highly-reputable.

Teaching materials. Perguruan tinggi seharusnya didukung oleh teaching materials yang memadai. Sayangnya, membeli buku teks dan berlangganan jurnal ilmiah membutuhkan biaya tinggi. Di kampus kami, alhamdulillah banyak mahasiswa yang bisa menikmati buku teks asing yang bermutu dan akses terhadap jurnal-jurnal terkini. Apakah setiap perguruan tinggi bisa mendapatkan fasilitas semacam itu? I doubt it.

Kualitas sarana prasarana. Penyelenggaran pendidikan tinggi tidak cuma disediakan dengan adanya ruang-ruang kelas. Perguruan tinggi harus punya perpustakaan, ruang dosen, aula, musholla/ruang ibadah, ruang pertemuan/ruang sidang, ruang bagi kegiatan kemahasiswaan, restroom, pantry, tempat parkir, dan seterusnya. Apa setiap perguruan tinggi punya semua itu? Kalau iya, bagaimana dengan kualitasnya?

Kerjasama. Yang sering dilupakan, perguruan tinggi kadang terlalu angkuh dan percaya diri tanpa merasa membutuhkan bantuan pihak lain. Faktanya, kerjasama antara perguruan tinggi dengan dunia kerja, organisasi profesi terkait, dan bahkan perguruan tinggi lainnya adalah wajib. Idealnya, dosen tamu harus sering didatangkan, studi banding/site visit juga perlu dilakukan.

Masalah-Masalah Umum

Kalau faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut di atas gagal dipenuhi dengan baik, maka wajar jika lulusan-lulusan perguruan tinggi kualitasnya tidaklah seberapa. Apalagi jika mereka dibandingkan dengan lulusan-lulusan India atau Taiwan misalnya.

Kepercayaan diri. Sudah banyak dosen yang mengeluhkan rendahnya kepercayaan diri mahasiswa, baik itu kepercayaan diri secara umum, teknis, analitis, komunikasi, maupun kepercayaan diri dalam bidang lainnya. Contoh gampangnya, mahasiswa malas untuk bertanya/berkontribusi pada diskusi kelas. Sementara ketika ditanya apa mereka sudah faham dengan materi kuliahnya, lagi-lagi tidak ada yang menjawab. Kalau sudah begini, sulit sekali membangkitkan kepercayaan diri ketika mereka berada di dunia kerja.

Komunikasi efektif. Kebanyakan kegiatan perkuliahan cenderung dilakukan secara satu arah. Dosen dianggap dewa yang maha tahu segalanya. Akibatnya, mahasiswa merasa bahwa dosen adalah satu-satunya sumber ilmu. Akibat laten yang lebih parah, mahasiswa jadi minim dalam kemampuan komunikasi karena tidak terbiasa bertanya, berinteraksi dengan dosen, melakukan presentasi, diskusi kelompok, atau adu argumentasi.

Pengetahuan praktis. Banyak mahasiswa yang memiliki pengetahuan teoretis yang mumpuni namun tidak dilengkapi dengan pengetahuan praktis. Lucu jadinya jika seorang lulusan finance misalnya, tidak bisa memahami transaksi perbankan, praktek perpajakan, sulit merumuskan dan mempraktekkan feasibility study, tidak paham standar akuntansi internasional atau PSAK, tidak mengerti risk-based audit, dan juga praktek keuangan lainnya. Ibaratnya, mereka punya Ferrari tapi nggak bisa nyetir.

Presentasi dan kemampuan meyakinkan orang lain. Dalam dunia kerja, kemampuan presentasi, pitching, dan meyakinkan orang lain adalah skill yang mutlak diperlukan. Sayangnya, tidak semua kegiatan perkuliahan memfasilitasi mahasiswanya untuk melakukan presentasi. Sebagian mahasiswa memang terlatih dengan mengikuti kegiatan kemahasiswaan. Namun jumlahnya tentu tak seberapa dibandingkan jumlah seluruh mahasiswa yang ada.

Leadership. Seperti sudah disinggung di atas, mahasiswa yang pernah terlibat dalam organisasi kemahasiswaan sedikit beruntung karena memiliki tempat untuk mengembangkan kemampuan leadershipnya. Tapi, tentu tidak banyak lulusan yang sempat mendapatkan pengalaman leadership tersebut. Dunia kerja kini tidak lagi menuntut kinerja individual yang superior, tetapi lebih dari itu, kemampuan leadership dan teamwork yang mumpuni.

Keberanian dan etika. Sudah jadi rahasia umum kalau lulusan kita sering sungkan dalam mengambil keputusan berdasar sound business practice, corporate government, regulasi yang berlaku, cost-benefit analysis, project management, dan variabel lainnya. Namun, ada juga sebagian lulusan yang terlalu “berani” menembus batas etika bisnis maupun etika profesi yang seharusnya menjadi pegangan. Etika mutlak diperlukan agar kemampuan yang dimiliki tidak digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan moral dan hukum.

Pengetahuan bisnis lemah. Sekarang jamannya globalisasi. Kita perlu memahami adanya transaksi keuangan dan pelaporan lintas negara, harmonisasi dan konvergensi antara satu kebijakan/satu negara dengan yang lainnya, dan ide pasar bebas (AFTA. EEC, WTO, dsb) yang semakin berkembang. Akibatnya, tanggung jawab seorang lulusan perguruan tinggi tidak melulu terbatas di bidangnya, tetapi juga memperluas ke luar daerah, mengarahkan orientasinya ke bisnis yang lebih bersifat strategik, dan bukan sekadar operasional atau taktikal.

Kemampuan bahasa inggris. Di sebagian perguruan tinggi, kemampuan bahasa inggris mahasiswa/lulusannya masih perlu dipertanyakan. Beberapa memang sudah mewajibkan skor TOEFL minimum dan memfasilitasi pendidikan/kursus inggris cuma-cuma bagi mahasiswa. Tapi respon dari mahasiswa belum terlalu baik. Padahal, kemampuan bahasa inggris mutlak diperlukan tidak hanya secara pasif, tetapi juga dalam presentasi, diskusi kelompok, penulisan laporan, dan sebagainya.

Komputer dan internet. Ini kisah nyata. Saya pernah bertemu dengan seorang mahasiswa S2 dari daerah yang tidak bisa mengoperasikan Microsoft Word dan bingung luar biasa dengan yang namanya internet. Tanpa bermaksud su’udzon, saya jadi bertanya-tanya, dulu gimana ya dia menyelesaikan skripsinya? Jangan-jangan…

Masalah persepsi umum. Ada sebagian profesi yang dicap negatif oleh publik. Akuntan misalnya. Dalam sebuah polling yang dilakukan suatu media, akuntan dianggap less trusted daripada pengacara, politisi, dan jurnalis. Wajar memang, mengingat banyaknya oknum akuntan yang sering melakukan mark-up project untuk kepentingan kelompok/pribadi, menyusun studi kelayakan tanpa menghitung depresiasi agar cost tidak terlalu tinggi, atau membuat laporan keuangan yang menyesatkan investor/publik. Siapkah mahasiswa jaman sekarang untuk menghadapi persoalan semacam itu?

Solusi

Kesempatan presentasi secara individual. Idealnya, kegiatan perkuliahan bisa memfasilitasi mahasiswa untuk melakukan presentasi, berdiskusi, melatih komunikasi, beradu argumentasi tanpa saling menjatuhkan. Lebih baik lagi jika kesempatan tersebut dilakukan dalam bahasa inggris.

Praktik simulasi bisnis. Khususnya di bidang bisnis/keuangan, perkuliahan banyak berkutat pada sisi teori dengan mengabaikan kemampuan praktis. Dengan praktik simulasi bisnis semacam itu, kemampuan teknis yang dimiliki akan lebih diarahkan untuk mengatasi persoalan (problem solving) dan membuat keputusan (decision making).

Integritas dan profesionalisme. Kemampuan untuk menegakkan integritas dan profesionalisme mutlak diperlukan karena seorang lulusan perguruan tinggi nantinya akan bertanggung jawab penuh pada perusahaan dan kepentingan publik (stakeholder). Mereka juga dituntut untuk tunduk pada standar profesi. Sayangnya, mata kuliah terkait dengan keagamaan, civics, etika, dan personality development seringkali dipandang sebelah mata oleh mahasiswa.

Suasana ilmiah yang terkondisi. Kuliah seharusnya bisa menjaga terpeliharanya suasana ilmiah. Dengan demikian, mahasiswa “akrab” dengan perpustakaan, familiar dengan dosen, betah berjam-jam nongkrong di lab, dan melakukan kegiatan ilmiah lainnya. Sayangnya, banyak mahasiswa yang hanya kuliah, bikin tugas, praktikum, lalu pulang.

Jangan jadi kupu-kupu. Seperti disinggung di atas, banyak mahasiswa yang jadi kupu-kupu: kuliah-pulang, kuliah-pulang. Padahal, ada baiknya spend some times di kampus untuk melakukan kegiatan organisasi kemahasiswaan, terlibat dalam kegiatan olahraga, menjadi asisten/tutor, magang dan terlibat dalam proyek penelitian, dan kegiatan-kegiatan positif lainnya.

Sikap mental positif. Dunia kerja penuh dengan tantangan dan tekanan yang saling berbenturan antara pihak-pihak berkepentingan (conflict of interest). Ada baiknya sejak dini disiapkan sikap mental positif seperti trust, image positif, integritas, profesionalisme, dan kredibilitas. Integritas dan kredibilitas, terutama, sangat penting untuk mengatasi masalah persepsi umum seperti tersebut di atas.

PS: Selamat bagi UGM yang masuk Top 100 Best University versi The Times. Semoga segera menyusul bagi universitas-universitas lain.

Comments

  1. cahyo
    November 6th, 2006 at 9:07 am

Hehehehe..jadi inget tempat kuliah saya dulu yang meski di universitas ternama, tapi kok mencari jurnal terbaru saja susahnya minta ampun. Betul, perlu lompatan yang signifikan untuk menghasilkan output yang bagus mas nofie… ;-)

  1. wadehel
    November 6th, 2006 at 10:01 pm

Ok.. ok… besok saya mulai kuliah lagi deh. Saya akan selesaikan skripsi itu tanpa membeli!

*hehe*

  1. Brahmasta
    November 7th, 2006 at 8:11 am

Setuju, pendidikan di perguruan tinggi lebih terlihat seperti ajang penjualan ijazah, dan membentuk mental-mental yang hanya menginginkan ijazah.

  1. liana
    November 10th, 2006 at 12:37 pm

Walopun saya ga 100% setuju, tapi ga bisa dipungkiri kalo hal-hal itu emang terjadi. Malah parahnya lagi, sekarang lagi marak percintaan antara dosen dan mahasiswa, bahkan hal itu mendera dosen yang uda menikah sekalipun. Gimana mau meningkatkan mutu lulusan kalo moral dosennya pun masih perlu dibimbing?!

  1. dasa
    December 1st, 2006 at 12:37 pm

Susahnya lagi sekarang perguruan tinggi dikelola seperti “PT” or Pesreoan Terbatas. Mungkin untuk masalah manajemen akan lebih praktis tapi biar bagaimanapun namanya PT diharuskan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Nah sekarang apa yang disebukan keuntungan itu? Kelulusan yg benar2 teruji kwalitasnya atau finansial yang besar????

  1. huhuhu
    December 17th, 2006 at 6:38 am

jaman sekarang masih ngandelin kuliah?!?! come honey bangun!!! Kuliah ga jamin apa2!!!Yg penting itu skill, mental n pola pikir kita. Gw udh pernah kul d PTN yg kata ny masuk 100 besar dunia itu but…:cry:Mendingan d PTS mreka lebih profesional ga berbelit-belit,ga ada birokrasi yg bkin kpala pusing:shock:, ga ada dosen selebriti, ga ada dosen yg suka nongol2 d tipi ga jelas, ga ada antrean yg buang2 waktu. Ehm ngomong2 soal SPMB halah itu kayakny cma bullshit untung2an,emang kita bs tau hasilny secara pasti?!?!Buktinya mana???? Tp yg mendukung n menjadi kelebihan ptn adalah suasananya n lingkungannya yg enak(gila nyaris smua PTN luas bgt lahannya,mentang2 gratisan) dan jg fasilitasnya gmana ga keren dpt bantuan dr pemerintah n para donatur2 lulusan PTN tersebut yg skrg da jd org kaya (tp negara tetep aja miskin). Buat yg ga masuk PTN jgn berkecil hati,keep fighting!!!buktiin klo lo itu jago,ga cma nebeng nama PTN:lol:, dunia nyata yg akan membuktikannya.Regard

  1. dian
    December 26th, 2006 at 8:21 am

Kalau expatnya memang expert sih enggak apa - apa…
Dalam rangka alih teknologi atau alih informasi sih ok…
Kita bisa belajar dari mereka…

Tapi pengalaman saya..huh banyak juga ( banyak sekali malah ) expat yg tidak expert ..mereka masuk mungkin karena KKN atau sebangsa etc.
Dengan level yg sama …tanggungjawab yg sama ….tapi gajinya bisa 10x lipat kita ;-(
Ironisnya ini terjadi di negeri sendiri…

Kalau PTN atau PTS….ironis juga jadinya cuma saya ingat “don’t go to school’ nya
Robert K.

Jadi ingat bukunya kiyosaki kalau enggak salah judulnya ” don’t go to school “.

  1. andri subandrio
    February 1st, 2007 at 12:43 pm

Setahu saya, di Australia atau di Amerika (dimana saya pernah tinggal untuk menuntut ilmu) lulusan/ijasah sekolah tidak menjamin untuk memperoleh pekerjaan, karena untuk memperoleh suatu pekerjaan tertentu atau untuk menduduki jabatan tertentu diperlukan serifikat kompetensi, jadi sesorang setelah lulus dari suatu perguruan atau pendidikan reguler mereka harus melakukan uji kompetensi mengenai bidang yang diminati, dan ini diurus oleh lembaga lain diluar lembaga pendidikan reguler.

Sertifikat uji kompetensi inilah yang dijadikan dasar bagi suatu perusahaan disana dalam menerima karyawan.

Di Indonesia ini sedang dirintis dengan didirikannya BNSP atau Badan Nasional Sertifikasi Profesi, yang pada aplikasi dilapangan dilakukan oleh LSP atau Lembaga Sertifikasi Profesi.

Sementara ini yang sudah berjalan baik adalah LSP Keuangan Mikro yang berkaitan dengan per Bankan, jadi untuk menjadi pejabat Bank harus mempunyai Sertifikas Kompetensi tersebut.

Kalau program ini dapat berjalan dengan baik, dan lagi BNSP juga sudah didaftarkan di PBB, maka sertifikasi kompetensi Indonesia kemungkinan akan bersifat tidak Nasional lagi melainkan sudah global.

Mudah-mudahan

  1. Yaldi
    June 7th, 2007 at 9:58 am

Apa yg anda paparkan pada artikel di atas, sy sangat setuju. Saya seakan hampir kehilangan akal bagaimana sebaiknya menghadapi/mengajar di kelas yg mahasiswanya seperti ini. Jika dilakukan diskusi kelompok (presentasi) di kelas, yg tampil ngomong hanya satu dua org saja itupun terkesan seperti kebingungan apa yg akan mereka sampaikan (gugup). Terkadang sy beri motivasi untuk menambah nilainya bagi mereka yg aktif berargumen, tp masih saja seperti apa adanya. Konon, ada yg berpendapat; kondisi ini terjadi disebabkan sistem pembelajaran yg mereka alami ketika di SLTP & SLTA yg menempatkan siswa sebagai objek yg harus didisiplinkan dan tercipta suasana ketertakutan yg tinggi terhadap guru. Mereka tidak diberi keleluasaan dalam berinteraksi dan berkomunikasi di kelas melalui diskusi dan berpendapat.